By: Yos F. da Lopes
Senyawa–senyawa
yang meniru kerja hormon juvenile (JH), sejenis hormon untuk mencegah
perkembangan serangga menuju dewasa sebelum waktunya dari disk imaginal pada
serangga holometabolous (Klowden, 2007), dapat digunakan sebagai insektisida
yang aman (Williams, 1967). Sehubungan dengan itu, banyak JH Analog (JHA)
ditemukan, salah satu diantaranya adalah methoprene, yang telah digunakan
sebagai insektisida komersial (Retnakaran et al., 1985; Staal, 1975). Akan
tetapi, JH pertama ini kurang stabil di lapangan, memiliki spektrum
pengendalian yang sempit serta daya racunnya yang lambat (Dhadialla et al., 1997).
Insektisida dengan cara kerja menghambat hormon molting serangga juga telah
ditempuh tanpa banyak kesuksesan (Watkinson & Clarke, 1973), sebagian besar
karena kompleksitas strukturnya serta ketidakstabilan kimia dan metabolisme
dari inti steroid (Dhadialla et al., 1997).
Penelitian
awal di lapangan terhadap JH dan ekdisteroid menghasilkan bakal insektisida,
baik alami ataupun buatan dengan kemiripan struktur yang kuat dengan hormon
alami. Hal ini mendorong upaya industri agrokimia dalam menemukan insektisida
kimia dengan mode of action JH atau ekdisteroid. Senyawa-senyawa tersebut
memiliki kestabilan metabolisme dan lingkungan yang jauh lebih besar daripada
analog sebelumnya dan jauh lebih cocok untuk pertanian, bahkan beberapa
diantaranya memiliki selektifitas yang luar biasa terhadap hama sasaran
(Dhadialla et al., 1997). Salah
satu kelas kimia dari senyawa dimaksudkan adalah JHA terpenoidal non aromatik,
yang dibahas dalam makalah ini, dengan terlebih dahulu diuraikan mengenai
gambaran singkat regulasi endokrin dalam pertumbuhan dan perkembangan serangga.
Regulasi Endokrin pada Pertumbuhan dan
Perkembangan Serangga
Pertumbuhan
dan perkembangan serangga diselingi oleh periode molting yang diatur oleh
steroid 20-hydroxyecdysone (20HE, hormon molting, ecdysterone) dan JH
sesquiterpenoid (Klowden, 2007). Pada tahap dewasa, kedua hormon ini juga
terlibat dalam pengaturan pematangan reproduksi (Dhadialla et al., 1997).
Molting dan metamorfosis telah dipelajari secara ekstensif pada beberapa serangga (Nijhout, 1994; Riddiford, 1994, 1996b). Molting diawali dengan terpisahnya sel epidermis dari kutikula lama, dikenal dengan apolysis, dan berakhir dengan pembuangan kutikula lama, dikenal dengan ecdysis (Gambar 1). Proses molting diawali dengan peningkatan titer 20HE dan diakhiri dengan penurunan titer 20HE dan pelepasan hormon eclosion (Klowden, 2007). Peningkatan titter 20HE mengakibatkan epidermis terpisah dari kutikula lama (dikenal dengan apolysis) sehingga menciptakan ruangan antara kutikula dan epidermis (ruang eksuvial), selanjutnya ruang exuvial ruang diisi oleh cairan molting yang mengandung enzim inaktif, chitinolytic (chitinase dan protease) yang mampu mencerna kutikula lama begitu teraktivasi (Klowden, 2007). Sementara itu, sel-sel epidermis terorganisir kembali untuk sintesis sejumlah besar protein serta sekresi epikutikula dan kutikula baru. Setelah titer 20HE mulai menurun, enzim dalam cairan molting diaktifkan untuk memulai proses pencernaan prokutikula (unsclerotized endocuticle). Setelah proses ini selesai, cairan molting diresorpsi dan pengerasan pra-ecdysial kutikula baru berlangsung (Reynolds, 1987). Akhir dari proses, ketika titer 20HE menurun ke tingkat basal, kutikula lama terlepas (ecdysis) yang diawali dengan pelepasan crustacean cardioaktive peptide (CCAP), hormon eclosion dan ecdysis-triggering hormone, yang bersama-sama bertindak atas sejumlah target dalam memastikan selesainya proses molting (Hsu, 1991; Klowden, 2007). Hormon Eclosion (EH) menginisiasi pelepasan CCAP dari sel-sel ventral ganglion yang menonaktifkan perilaku pre-ecdysis dan bersama-sama dengan EH mengaktifkan perilaku ecdysis. CCAP bertanggung jawab sebagai motor pemicu dalam menyelesaikan ecdysis. EH juga terlibat dalam bursicon untuk pengerasan kutikula (Klowden, 2007). Setelah proses molting selesai, kegiatan makan dilanjutkan kembali dan deposisi endocuticular terus berlanjut selama periode intermolt (Dhadialla et al., 1997).
Pertumbuhan
dan perkembangan serangga diatur oleh 20HE, JH, EH, dan neurohormonnya lainnya
(Klowden, 2007). Perubahan morfologi dan ultra-struktural yang terjadi pada
epidermis selama pertumbuhan dan perkembangan serangga tergantung pada
pengaturan ekspresi gen dengan titer yang berbeda dari 20HE dengan ada atau
tanpa JH (Riddiford, 1996). Setiap gangguan dalam homeostasis dari satu atau
lebih hormon ini dengan sumber eksogen dari hormon atau dengan analog sintetis
(agonis atau antagonis) akan mengakibatkan gangguan atau pertumbuhan dan pengembangan
yang abnormal pada serangga sasaran. Demikian pula, setiap gangguan pada
hormon-hormon yang terlibat dalam sintesis dan/atau resorpsi kutikula akan
merugikan kelangsungan hidup pada tahap perkembangan yang terpengaruh
(Dhadialla et al., 1997).
Dasar Molekular Kerja Hormon Juvenil
Kerja
JH pada tingkat molekuler belum dipahami secara baik. Hormon ini tampaknya
bertindak melalui baik membran maupun reseptor intraseluler. Karakteristik
terbaik sistem kerja JH pada tingkat membran telah dijelaskan untuk sel folikel
ovarium pada Rhodnius prolixus
(Ilenchuk & Davey, 1985; Sevala & Davey, 1990) dan Locusta migratoria (Sevala dkk, 1995) untuk pengambilan
vitellogenin (Wyatt & Davey, 1996). Membran reseptor yang dimediasi JH
menyebabkan pelebaran ruang-ruang antar folikel di epitelium. Hal ini
disebabkan oleh aktivasi dari Na+, K+-ATPase, dan
penyusutan selanjutnya dari sel, yang kemudian mempromosikan penyerapan
vitellogenin. Tampaknya, kerja JH ini mungkin melibatkan aktivasi protein
kinase-C (Sevala & Davey, 1990).
Interaksi
intra-seluler JH, mungkin dengan reseptor nuklear, telah diteliti dalam tubuh
lemak L. migratoria (Braun dkk, 1995)
dan Leucophaea maderae (Engelmann,
1995) dan di epidermis Manduca sexta
(Riddiford, 1994, 1996a). Afinitas pengikatan JH atau JHA terhadap inti atau
sitosol atau ekstrak nuclear telah ditentukan. Protein yang mengikat pada
analog photo-affinity dari JH serta dari JHA telah ditandai melalui
elektroforesis (Riddiford, 1996b; Wyatt & Davey, 1996). Namun,
karakteristik molekul dari reseptor JH tetap tidak diketahui.
Analog Hormon Juvenil Non-Terpenoidal
sebagai Insectisida
Berbagai
analog JH telah diuji efek kerja insektisidalnya (Retnakaran dkk, 1985).
Sebagian besar analog awal menyerupai JH dalam struktur dasar terpenoidnya dan
yang paling aktif, seperti metopren (Staal, 1982; Engelmann, 2002) dan
hydroprene (Staal, 1982), namun, kurang memiliki fungsi epoksida (Retnakaran
dkk, 1985). Sejauh ini, beberapa senyawa aktif yang belum jelas kemiripannya
dengan JH telah disintesis, diantaranya fenoxycarb,, pyriproxyfen dan
diofenolan (Gambar 2; Dhadialla et al., 1997).
Efek terhadap Organisme
Aplikasi
fenoxycarb pada instar kelima terhadap penggerek jagung Eropa, O. nubilalis mengakibatkan
terbentuknya larva supernumerary atau permanen, atau larva-pupa intermediet.
Hatakoshi et al (1986) menemukan bahwa pyriproxyfen jauh lebih kuat dalam
mendorong terbentuknya larva supernumerary daripada metopren dan JH I ketika
dikenakan pada stadia terakhir larva S.
litura. Baik pyriproxyfen maupun metopren menekan titer hemolymph
ecdysteroid normal dan menyebabkan titer ekdisteroid muncul 12-24 jam lebih
awal dari biasanya. Terhambatnya pembentukan serangga dewasa terjadi pada
lesser mealworm, Alphitobius diaperinus,
ketika makan makanan unggas yang mengandung 0,05-ppm fenoxycarb (Edwards &
Abraham, 1985).
Perlakuan
inhibitor selektif JHE-O-etil-S-fenil phosphoramidothiolate (EPPAT) menunda
larva Manduca secta untuk masuk ke
tahap pencarian tempat untuk pupasi (Browder et al, 2001)
Efek Reproduktif dan Perkembangan
Aplikasi
fenoxycarb pada instar kelima kecoa Jerman, Blattella
germanica, tidak hanya menimbulkan kelainan morfologi, tetapi juga
meyebabkan kemandulan serangga dewasa. Kemandulan tampaknya berasal dari jantan
yang diberi perlakuan (King & Bennett, 1990). Efek kemandulan serupa juga
ditemukan pada C. fumiferana (Hicks
& Gordon, 1992) dan Trialeurodes
vaporariorum (Natskova, 1988). Aplikasi topikal fenoxycarb menekan produksi
telur oleh ratu semut api merah, Solenopsis
invicta (Banks et al, 1988), dan mengurangi baik produksi telur maupun
penetasan pada California ips, Ips
paraconfusus (Chen & Borden, 1989). Fenoxycarb juga mempengaruhi
pembedaan kasta pada serangga sosial, yang menyebabkan ketidakseimbangan kasta
dalam koloni (Grenier & Grenier, 1993).
Mode of Action
Pada
sejumlah serangga, JHA, seperti JH alami, dapat mengembalikan proses fisiologis
dan biokimia yang bergantung pada keberadaan JH, seperti sintesis protein
kuning telur, vitellogenins, atau penyerapannya oleh oosit yang berkembang,
yang menunjukkan mode of action dari JH. Meskipun sedikit yang diketahui
tentang karakteristik molekuler protein reseptor yang mana JH atau JHA bekerja,
bukti yang ada menunjukkan bahwa senyawa ini dapat memberi efeknya melalui
berbagai sel yang mengikat protein. Kerja JH melalui reseptor membran telah
diteliti dengan sangat terinci pada sel-sel folikel ovarium dari R. prolixus dan L. migratoria.
Beberapa
laporan menunjukkan bahwa JH sitosol atau nuklear atau JHA reseptor protein
mungkin secara struktural terkait dengan superfamili steroid reseptor protein,
termasuk reseptor hormon tiroid. Sebagai bukti tambahan, baik farnesol maupun
aktivasi JH III diinduksi gen reporter melalui interaksi dengan reseptor
nuklear vertebrata, reseptor farnesoid X-teraktivasi (FXR), dan RXR heterodimer
(Dhadialla et al, 1997).
Efikasi Insektisida
JHA
memiliki spektrum toksisitas yang relatif luas terhadap serangga, dan telah.
Formulasi fenoxycarb yang berbeda telah dikembangkan untuk berbagai kelompok
hama; fenoxycarb telah digunakan untuk mengendalikan sejumlah hama Coleoptera
dan Lepidoptera pada gandum dan beras yang disimpan dan sejumlah penggulung
daun, pear psyllids dan diaspidid scales. Pyriproxyfen aktif terhadap sejumlah
spesies nyamuk dan sebagai senyawa yang digunakan pada pakan unggas, sapi, dan
babi untuk mengendalikan lalat, Musca
domestica, dan Musca autumnalis. Diofenolan,
JHA aromatik terbaru, mempunyai aktivitas yang baik terhadap hama Lepidoptera
pada buah, jeruk, anggur, dan zaitun dan serangga skala pada pome fruit dan
jeruk (Dhadialla et al, 1997).
Efek pada Avertebrata Non-Target dan
Vertebrata
Baik
fenoxycarb maupun pyriproxyfen memiliki toksisitas yang telah diukur pada
sejumlah Diptera, Coleoptera, dan Hemiptera predator dan parasitoid serangga
skala. Namun, Aphytis holoxanthus,
ektoparasit pada California red scale dan Florida wax scale, tidak sensitif terhadap
pyriproxyfen. Pupasi pada coccinellid predator, Chilocorus bipustulatus L., terhambat ketika larva yang memakan
pada serangga skala, Chrysomphalus
aonidum, dicelupkan ke dalam bahan aktif fenoxycarb 0,025%. Fenoxycarb juga
beracun bagi Colpoclypeus florus,
yang merupakan parasitoid A. orana
dan Pandemis heparana.
Fenoxycarb
ini tidak berbahaya bagi lebah dewasa. Namun, efek pada perkembangan larva
serangga muda diamati sebagai akibat dari lebah pekerja yang makan serbuk sari
yang mengandung residu fenoxycarb. Instar
terakhir serangga air tertentu rentan terhadap JHA. Fenoxycarb menghasilkan
berbagai efek morphogenetic pada Heteroptera Notonecta unifasciata dan capung Anax junius dan Pantala
hymenaea. Efek serupa juga diperoleh dengan pyriproxyfen pada instar
terakhir capung Orthetrum albistrum
dan agas Chironomus yoshimatsui.
Beberapa
informasi tentang toksikologi vertebrata fenoxycarb telah diulas . Secara umum,
JHA memiliki toksisitas akut yang rendah untuk ikan, burung, dan mamalia.
Sebagai contoh, dosis letal 50% akut (LD50) untuk fenoxycarb pada tikus adalah
>10 g/kg (oral), >2 g/kg (dermal), dan >480 mg/m3 untuk
pemaparan 4-h (inhalasi) (Dhadialla et al., 1997).
Potensi Resistensi terhadap Insektisida
Non-Terpenoidal dan Non-Ecdysteroidal
Ketiks
Williams (1967) mengusulkan penggunaan senyawa dengan aktivitas hormon serangga
sebagai "insektisida generasi ketiga," serangga diyakini mampu
mengembangkan resistansi terhadap molekul yang menyerupai hormon mereka
sendiri. Anggapan ini belum terbukti benar. Beberapa contoh resistensi JHA
telah didokumentasikan. Misalnya, ketahanan terhadap pyriproxyfen telah diamati
pada lalat putih ubi jalar, Bamesia
tabaci, dan resistensi terhadap metopren telah terbukti terjadi dalam
tingkat reseptor pada mutan yang resisten terhadap metopren, D. melanogaster.
Dalam laporan terbaru, Sauphanor & Bouvier (1995)
mengamati kehilangan efikasi tebufenozide dalam strain laboratorium ngengat
Codling, C. pomonella, awalnya
dikumpulkan di Tenggara Perancis dan diperkuat untuk ketahanan terhadap
inhibitor sintesis kitin, diflubenzuron. Namun, dalam penelitian lain dengan
jenis yang berbeda codling moth resisten terhadap benzoylphenylurea, tidak ada
kerugian seperti dalam kerentanan tebufenozide diamati Demikian juga, tidak ada
kerugian dalam kerentanan tebufenozide ditemukan pada suatu strain ngengat yang
tahan terhadap organofosfat, P.
idaeusalis dan strain yang tahan terhadap piretroid, leafworm kapas, S. littoralis. Lebih jauh, dalam studi
terakhir, tidak ada kerugian dalam kerentanan RH-2485 pada strain resisten.
Meskipun mungkin tak terelakkan bahwa serangga pada
akhirnya akan mengembangkan resistensi terhadap insektisida baru, terutama bila
disalahgunakan. Baik tebufenozide maupun RH-2485 seharusnya cocok untuk
digunakan dalam program resistensi dan pengendalian hama terpadu karena mode of
action-nya yang baru dan aman bagi predator dan parasitoid (Dhadialla et al,
1997).
Kesimpulan
Walaupun
karakterisasi molekul reseptor JH sulit dipahami, namun tampak jelas bahwa JH
dan JHA dapat bekerja melalui protein reseptor berbeda. Oleh karena itu,
mungkin ada potensi untuk penemuan juvenoids yang lebih tinggi target-selektif
dari hasil yang sejauh ini telah luput dari para ilmuwan pestisida. Sebuah
pendekatan yang berbeda mungkin akan menemukan bahan kimia yang dapat
mengganggu baik biosintesis JH ataupun ekdisteroid atau sifat anti-JH atau efek
anti-ekdisteroid. Penelitian di sepanjang garis-garis ini telah menghasilkan
penemuan senyawa seperti thiosemicarbazones arylpyridyl-dan 1,5-disubstitusi
imidazoles, yang menghambat biosintesis JH dan analog metyrapone, yang memiliki
aktivitas anti-ekdisteroid pada serangga (Dhadialla et al., 1997), JHE-O-etil-S-fenil
phosphoramidothiolate (EPPAT) yang dapat menunda larva Manduca secta untuk masuk ke tahap pencarian tempat untuk pupasi
(Browder et al, 2001). Zat-zat kimia tersebut akhirnya dapat menjadi senyawa
insektisida berguna.
Ketersediaan
kloning DNA membuat sekuens reseptor pengkodean yang menengahi kerja hormon
serangga, kita harus berharap lebih besar penggunaan tes situs in vitro target
dalam kombinasi dengan tes tradisional serangga secara keseluruhan untuk
menemukan senyawa baru yang meniru kerja hormon. Kemajuan yang signifikan dalam
penggunaan bahan kimia kombinatorial dan tes situs target yang terarah akan
memungkinkan industri agrokimia untuk menggunakan teknologi ini dalam menemukan
insektisida baru dengan kerja hormon serangga.
Referensi
Banks WA, Williams DF, Lofgren CS. 1988.
Effectiveness of fenoxycarb for control of the red imported fire ants (Hymenoptera:
Formicidae). J. Econ. Entomol. 81:83–87.
Braun RP, Edwards GC, Yagi KJ, Tobe SS,
Wyatt GR. 1995. Juvenile hormone binding components of locust fat body. Arch.
Insect Biochem. Physiol. 28:291– 309.
Browder MH, D’Amico LJ, Nijhout HF. 2001. The role of low
levels of juvenile hormone esterase in metamorphosis of manduca sexta. Journal
of Insect Science, 1:11. 4pp.
Chen NM, Borden JH. 1989. Adverse effects
of fenoxycarb on reproduction by
the
Californiafivespinedips,Ipsparaconfusus Lanier (Coleoptera:
Scolytidae). Can. Entomol. 121:1059–68.
Dhadiallla TS, Carlson GR, Le DP. 1997. New insecticides
with Ecdysteroidal and Juvenile Hormone Actifity. Annu. Rev. Entomol. 1998.
43:545-69.
Edwards JP, Abraham L. 1985. Laboratory
evaluation of two insect juvenile hormone analogues against Alphitobius diaperinus
(Panzer) (Coleoptera: Tenebrionidae). J. Stored Prod. Res. 21:189–94.
Engelmann F. 1995. The juvenile hormone
receptor of the cockroach Leucophaea maderae. Insect. Biochem. Mol. Biol.
25:721–26.
Grenier S, Grenier A-M. 1993. Fenoxycarb,
a fairly new insect growth regulator: a review of its effects on insects.
Ann. Appl. Biol. 122:369–403.
Hatakoshi M, Agu N, Nakayama I. 1986. 2-[ 1 -Methyl-2(4-Phenoxyphen‑oxy) Ethoxy] Pyridine as a new insect juvenile hormone
analogue: induction of supernumerary larvae in Spodoptera litura
(Lepidoptera: Noctuidae). Appl. Entomol. Zool. 21:351–53.
Hicks BJ, Gordon R. 1992. Effects of
the juvenile hormone analog fenoxycarb on various developmental stages of the
eastern spruce budworm, Choristoneura fumiferana (Clemens)
(Lepidoptera: Tortricidae). Can. Entomol. 124:117–23.
Ilenchuk TT, Davey KG. 1985. The binding
ofjuvenile hormone to the membranes of the follicle cells in Rhodnius
prolixus. Can. J. Biochem. Cell Biol. 63:102–6.
King JE, Bennett GW. 1990. Comparative
sterilizing and ovicidal activity of fenoxycarb and hydroprene in adults and oothecae
of the German cockroach (Dictyoptera: Blattellidae). J. Med. Entomol. 27:642–45.
Klowden MJ. 2007. Physiological Systems in Insects. Second
Edition. Academic Press, Elsevier. Burlington, 01803, USA. 688p.
Nijhout HF. 1994. Insect Hormones.
Princeton, NJ: Princeton Univ. Press. 267 pp.
Retnakaran A, Granett G, Ennis T. 1985.
Insect growth regulators. In Comprehensive Insect Physiology, Biochemistry and
Pharmacology, ed. GA Kerkut, LI Gilbert, 12:529–601.Oxford: Pergamon.
Reynolds SE. 1987. The cuticle, growth and
moulting in insects: the essential background to the action of acylurea insecticides.
Pestic. Sci. 20:131–46.
Riddiford LM. 1994. Cellular and molecular
actions of juvenile hormone I. General considerations and premetamorphic actions.
Adv. Insect Physiol. 24:213–74.
Riddiford LM. 1996a. Juvenile hormone: the status of its “status quo” action. Arch. Insect
Biochem. Physiol. 32:271–86.
Riddiford LM. 1996b. Molecular aspects ofjuvenile hormone action in insect metamorphosis. In
Metamorphosis, ed. LI Gilbert, pp. 223–51. London: Academic
Sauphanor B, Bouvier JC. 1995. Cross-
resistance between benzoylureas and benzoylhydrazines in the codling moth,
Cydia pomonella L. Pestic. Sci. 45:369–75.
Sevala VL, Davey KG. 1990. The action ofjuvenile
hormone on the follicle cells of Rhodnius prolixus involves protein
kinase C and calcium. In Insect Neurochemistry and
Neurophysiology, ed. AB Borkovec, EP Masler, pp. 323–28. Clifton, NJ: Humana.
Sevala VL, Davey KG, Prestwich GD. 1995.
Photoaffinity labeling and characterization of a juvenile hormone binding protein
in the membranes of follicle cells of Locusta migratoria. Insect
Biochem. Mol. Biol. 25:267–73.
Staal GB. 1975. Insect growth regulators
with juvenile hormone activity. Annu. Rev. Entomol. 20:417–60.
Watkinson IA, Clarke BS. 1973. The insect
moulting hormone system as a possible target site for insecticidal action. PANS
14:488–506.
Williams CM. 1967. The juvenile hormone
II. Its role in the endocrine control of molting, pupation, and adult development
in the cecropia silkworm. Biol. Bull. Woods Hole 121:572–85.
Wyatt GR, Davey KG. 1996. Cellular and molecular
actions of juvenile hormone. II. Roles of juvenile hormone in adult insects.
Adv. Insect Physiol. 26:1–155.
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.