G. Eksposur
Monocrotophos
G.1.
Makanan
Pada studi total diet, monocrotophos biasanya
tidak terdeteksi sebagai residu dalam makanan. Studi terhadap makanan impor tahun 1996
di inggris, ditemukan residu monocrotophos (level rendah 0,03 mg/kg) dalam 1
dari 8 sampel kismis kering yang diimpor dari Yunani. Studi pada sumber-sumber industri
makanan Inggris, ditemukan residu monocrotophos pada dwarf beans 0,07 mg/kg.Batas maksimum residu telah diatur
dalam beberapa produk sekitar 0,02-1 mg/kg, dan ADI 0,0006 mg/kg bb. Monocrotophos dan beberapa metabolitnya
telah diidentifikasi pada otot, susu, dan hati sapi serta susu kambing. Di beberapa negara, interval pra-panen
ditetapkan 7-15 hari pada sayuran dan kentang, jagung dan jeruk dan 28-30 hari
untuk tanaman lainnya.
G.2.
Berhubungan dengan Pekerjaan
Dalam sebuah penelitian yang dilakukan
oleh US-EPA tentang penilaian risiko paparan akut pada pekerja/buruh di
Indonesia, nilai-MOE (Moel = NOAEL/tingkat pemaparan diantisipasi) 5 diestimasi
sebagai monocrotophos. EPA umumnya menganggap MOE lebih rendah dari 100
memberikan risiko yang tidak akseptebel. Penelitian yang dilakukan di Filipina
menunjukkan bahwa dalam proses operasi penyemprotan normal, petani tereksposur
melalui kontaminasi dari pakaian mereka dan penyerapan melalui kulit. Studi epidemiologi yang dilakukan
1972-1984 di sebuah pedesaan di Luzon Tengah (Filipina) menunjukkan adanya peningkatan
kematian 27% hanya dalam batas kelompok umur dan jenis kelamin tertentu
(bekerja menanam padi) yang ter-eksposur. Tahun-tahun tersebut adalah masa
dimana penggunaan pestisida tinggi. Di antara 4 pestisida yang paling sering
digunakan adalah monocrotophos.
G.3.
Lingkungan
Populasi atau penduduk umumnya tidak
terkena monocrotophos melalui udara atau air. Terdapat beberapa laporan adanya keracunan
akibat penggunaan monocrotophos yang berkaitan dengan pekerjaan atau percobaan
bunuh diri.
G.4.
Keracunan Asidental
Di Parana (Brasil) pestisida
menimbulkan kasus lebih dari 10 insiden yang dianalisis pada tahun 1990; 107 dari
412 insiden yang dilaporkan, disebabkan oleh monocrotophos.
G.5.
Langkah-langkah untuk Mengurangi Eksposur
Personal:
WHO
merekomendasikan bahwa untuk kesehatan dan kesejahteraan pekerja dan masyarakat
umum, penanganan dan aplikasi monocrotophos harus dipercayakan hanya kepada
aplikator yang kompeten, terawasi dan terlatih, yang harus mengikuti
langkah-langkah keamanan yang memadai dan menggunakan bahan kimia sesuai dengan
praktek aplikasi yang baik. Pekerja
yang tereksposur secara teratur harus dipantau dan dievaluasi kesehatannya. Di
Jerman, monocrotophos tidak boleh ditangani oleh remaja dan wanita hamil dan
menyusui. Di
Amerika Serikat, monocrotophos merupakan jenis pestisida yang dilarang
penggunaannya (Restricted Use Pesticide) sebelum ditarik dari peredarannya,
yang hanya dapat digunakan oeh aplikator bersertifikat.
Proteksi:
Menggunakan
pakaian pelindung seperti yang ada dalam “Pedoman FAO untuk Perlindungan
Pribadi (FAO Guidelines for Personal Protection)” saat bekerja dengan pestisida
terutama daerah beriklim tropis. Menggunakan
respirator saat bekerja dengan mixer dan menyemprot tanaman tinggi.Menghindari
penggunaan flagger, jika digunakan, harus mengenakan pakaian pelindung lengkap
termasuk respirator. Semua
peralatan dan pakaian pelindung harus dicuci dengan bersih setelah digunakan;
pakaian pelindung harus dicuci secara terpisah dari pakaian keluarga. Pekerja
yang tidak terproteksi harus dijauhkan dari daerah perawatan selama 48 jam.
Aplikasi:
Pembuatan,
formulasi, penggunaan di pertanian dan pembuangan monocrotophos seharusnya
ditangani dengan hati-hati untuk mengurangi pencemaran lingkungan.Untuk
memperkecil risiko bagi semua individu, direkomendasikan untuk menggunakan
interval 48 jam sebelum penyemprotan kembali ke area lainnya. Di
beberapa Negara, ditetapkan interval pra-panen, biasanya 7-15 hari untuk
sayuran dan kentang, jagung dan jeruk, dan 28-30 hari untuk tanaman lainnya. Mengingat
tingginya monocrotophos, pestisida ini tidak seharusnya digunakan melalui
praktek “hand-applied ULV spraying” (penyemprotan tangan dengan ULV).
H. DAMPAK PENGGUNAAN MONOCROTOPHOS
H.1.
Dampak pada Organisme Sasaran dan Organisme Bukan Sasaran
H.1.1.
Dampak pada OPT Sasaran
Terbunuhnya OPT
Sasaran
Monocrotophos umumnya efektif dalam
mengendalikan OPT sasaran.
Resistensi
Hampir semua hama
polifagus di dunia dilaporkan telah mengembangkan resistansi terhadap
monocrotophos. Pada 1980-an, Tetranychus cinnabarinus (Acari:
Tetranychidae) mengembangkan resistansi terhadap monocrotophos dan pestisida
organofosfat lainnya seperti Methyl-parathion, phosphamidon dan Dimetoat;
resistensi terhadap Parathion, misalnya, meningkat 466,8 kali lipat (Wu et al,
1990 dalam WHO, 2009). Resistensi terhadap
monocrotophos tampaknya telah berkembang pada two-spotted mites di Queensland,
SA (Southern Australia) dan NSW (New South Wales), juga pada pada beberapa
populasi kutu daun dan tungau (National Registration Authority for Agricultural
and Veterinary Chemicals, Australia, 2000). Resistensi white fly
telah menjadi semacam wabah pada tanaman kapas. Catatan sepanjang waktu
menunjukkan bahwa resistensi kumbang kentang Colorado terhadap monocrotophos di
Long Island, AS, tampak lebih cepat daripada hampir semua pestisida lainnya,
dalam waktu satu tahun introduksi. Cotton
bollworms juga dilaporkan telah mengembangkan resistensi terhadap berbagai
tingkat dosis anjuran di berbagai benua (WHO, 2009). Kasus resistensi
menokrotofos juga telah diamati pada psylla pir, Cacopsylla pyri. Pada studi ini, resistensi terjadi hanya ketika
ada tekanan seleksi insektisida terus-menerus. Resistensi tampak stabil setelah
30 generasi seleksi dan stabil pada tingkat 140 kali lipat (Berrada et al,
1995). Muralimohan,
et al (2007) melaporkan bahwa coconut black-headed caterpillar, Opisina arenosella, berpotensi
mengembangkan resistensi terhadap monocrotophos, dimana nilai LC50
dari populasi yang terus menerus terpapar monocrotophos 134 kali lebih besar
dari populasi yang rentan (tidak pernah terpapar monocrotophos).
H.1.2.
Dampak pada Organisme Non Target
Terbunuhnya serangga-serangga
bermanfaat, seperti musuh alami dan serangga penyerbuk; burung dan hewan air (selengkapnya di bagian H.3).
Fitotoksisitas
Monocrotophos dapat menyebabkan
diskolorasi (perubahan warna daun) pada banyak varietas sorgum dan rusaknya
beberapa varietas apel di Australia (National Registration Authority for
Agricultural and Veterinary Chemicals, Australia, 2000). Monocrotophos juga menyebabkan luka ringan
pada beberapa varietas apel, pir, peach, cherry, dan sorgum (Gallo &
Lawryk, 1991 dalam EXTOXNET, 1995).
Penanganan
monocrotophos yang kurang hati-hati dapat menimbulkan keracunan pada manusia.
H.2.
Dampak pada Lingkungan
H.2.1.
Persistensi
Monocrotophos memiliki persistensi
lingkungan yang rendah.
Degradasi pada tanah
dan air tanah
Pestisida ini tidak terakumulasi dalam
tanah karena dapat dibiodegradasi. Pada tanah yang terkena sinar matahari
secara alami, waktu paruhnya kurang dari 7 hari. Pada tempat gelap, waktu paruhnya
sekitar 30 hari. Pada PH 9 dan suhu suhu 25˚C, waktu
paruhnya 14-21 hari. Meskipin bersifat mobile di tanah dan
terdegradasi secara cepat, monocrotophos memiliki potensi untuk mencemari air
tanah.
Belum ada informasi
degradasi pada Air Permukaan
Degradasi pada
Vegetasi
Monocrotophos dapat menyebabkan luka ringan
pada beberapa varietas apel, pir, peach, cherry, dan sorgum. Pada dedaunan tanaman, monocrotophos
memiliki waktu paruh 1,3-3,4 hari tanaman.
H.2.2.
Biokonsentrasi
Monocrotophos
dan metabolitnya tidak diharapkan untuk bioakumulasi.
H.3.1.
Hewan Akuatik
Monocrotophos cukup beracun bagi ikan
LC50 (48 jam) 7 mg/l untuk
rainbow trout dan 23 mg/l untuk bluegill sunfish. Monocrotophos menyebabkan kerusakan reproduksi
pada Crustacea yang terpapar dalam jangka waktu yang lama.
H.3.2.
Unggas
LD50 akut oral berkisar
0,9-6,7 mg/kg bb. Monocrotophos sangat beracun bagi
unggas dan digunakan sebagai racun unggas. Monocrotophos juga dapat membunuh
burung yang memakan serangga yang mati keracunan monocrotophos. LD50 adalah 0,76 mg/kg untuk puyuh
California; 0,94 mg/kg untuk puyuh bobwhite; 1,58 mg/kg untuk angsa Kanada; 3,3
mg/kg untuk jalak Eropa dan 4,76 mg/kg untuk itik mallard. Karena penggunaan monocrotophos,
diperkirakan 15.000 sampai 20,000 ekor burung mati di Argentina pada tahun
1995.
H.3.4.
Lebah
Berbahaya untuk lebah (LD50
28-33 mg/lebah).
Sumber:
FAO (2011); American
Bird Conservancy (2010); Kegley et al (2010); Rotterdam Convention (2005);
Heath Council of the Netherlands (2003); National Registration Authority
for Agricultural and Veterinary Chemicals, Australia (2000); PAN-UK (1997); EXTOXNET (1995).
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.